Saturday, July 12, 2008
PERINGATAN HARI SUPORTER
dan berikiut selebaran nya
Suporter Sepakbola Indonesia : Useful Idiot dan Penderita Myopia ?
Renungan Sewindu Ikrar Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000)
Oleh : Bambang Haryanto
Hari ini, Sabtu 12 Juli 2008, ikrar untuk menjadikan tanggal tersebut sebagai Hari Suporter Nasional sudah sewindu umurnya. Sudah delapan tahun. Untuk sekedar merevitalisasi gagasan yang pernah kita sepakati bersama saat ide itu diluncurkan, Mayor Haristanto, saya dan beberapa teman dari Pasoepati Solo dan sekitarnya, meluncurkan aksi. Aksi itu berupa happening art. Dengan melakukan aksi alegori topo mbisu, bersemedi dengan tidak mengeluarkan kata-kata.
Dengan hening itu, di tengah keriuhan perempatan Gladag Solo, mungkin ada gunanya dibanding aksi teriak-teriak. Toh teriakan warga komunitas sepakbola Indonesia yang masih memiliki akal sehat selama ini, terkait kebobrokan dan wabah korupsi yang membelit sepakbola Indonesia, seolah menabrak tembok, bukan ?
Kami coba berteriak, tetapi dengan bahasa yang lain. Memakai bahasa keheningan. Melakukan sebuah inner journey, perjalanan ke dalam diri kita, untuk meneliti kembali komitmen kami dan kita sebagai suporter sepakbola, sebagai bagian dari komunitas sepakbola Indonesia.
Kami akan membentangkan poster. Antara lain berbunyi, “Suporter Indonesia = Useful Idiots ?” sampai “Suporter Indonesia, Suporter Myopia.” Katakanlah itu gugatan kami, kepada diri kami sendiri. Karena kami selama ini menderita myopia, cadok, rabun dekat. Kita hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya hanya memompa fanatisme terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa ketika konflik antarsuporter terjadi.
Sampai timbul tesis bahwa konflik antarsuporter itu sengaja dipelihara, karena dapat “dibisniskan” dalam bentuk ajang pertemuan antarsuporter, membuat deklarasi ini dan itu, dan ketika waktu berjalan semua hal itu mudah terlupakan. Ingat, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa. Lalu ketika muncul konflik antarsuporter lagi, terlebih lagi dengan munculnya korban jiwa, maka siklus bisnis itu berjalan kembali. Kecadokan suporter kita dipelihara untuk meraih keuntungan fihak tertentu. Akibatnya kemudian, kita menjadi tak hirau dengan apa yang terjadi di Senayan. Di kantor PSSI.selama ini.
Gerontokrasi di PSSI. Persoalan sepakbola kita mungkin merasa sudah terlalu besar untuk bisa kita (suporter) cerna. Berdasar pemikiran itu sering membuat kita, para suporter berpendapat bahwa kita serahkan saja setotalnya, bahasa Jawanya pasrah bongkokan, kepada mereka-mereka yang kita anggap memiliki keahlian dan komitmen. Tetapi ketika korupsi juga meruyak ke sana, bahkan merasuk kepada pimpinan puncaknya, apa lagi yang bisa kita harap dari mereka ?
Mari kita mencoba mendengar pandangan orang lain. Azrul Ananda, bos muda Jawa Pos Group ketika memperingati 59 tahun harian Jawa Pos (Jawa Pos,1-2/7/2008) juga ikut menyentil kondisi persepakbolaan kita. Ia membandingkan saat bertemu dengan orang-orang koran, yang ia sebut sebagai orang-orang yang sudah tua, dengan acara lainnya ketika ia bertemu dengan orang-orang teras sepakbola kita.
“Orang-orang yang mengurusi sepakbola itu masih sama dengan orang-orang yang saya baca di koran waktu masih SD dulu. Hanya satu atau dua yang usianya tidak jauh dari saya. yang lebih muda dari saya hanya pemain,” tulisnya dalam artikel berjudul Newspaper is Dead (Jawa Pos, 1/7/08).
Saya berpikir, lanjut Azrul Ananda, apa karena ini ya sepakbola Indonesia tidak maju-maju ? Ilmu yang sama diputar-putar sampai habis. Orang yang satu pindah ke tempat lain, memutar-mutar ilmu yang sama sampai habis.
Padahal, lingkungan sudah berubah. Ada beberapa tingkatan generasi baru yang lebih tahu tentang ilmu-ilmu baru. Mereka hanya belum mendapat kesempatan untuk menjajal ilmu-ilmu baru itu, lalu mengetahui kelemahan dan kesalahannya, karena orang-orang lama terus memaksakan ilmu-ilmu lama.
Delapan tahun lalu, di kantor Tabloid BOLA, Jakarta, saya mencetuskan hari suporter nasional. Rekan-rekan lain, baik dari Pasoepati, Aremania, The Jakmania dan Viking, menyetujuinya. Terima kasih. Mudah-mudahan delapan tahun kemudian para sahabat saya itu masih juga menyetujui gagasan saya yang tertulis ini : mari kita hentikan status kita yang nyaris hanya ibarat sebagai kerbau yang dicocok hidung dalam konstelasi persepakbolaan nasional.
Kita harus bangkit. Bersuara. Beraksi. Dengan dimulai dari perjalanan ke dalam diri sendiri, mengasah ketajaman hati nurani, pikir dan dan pena kita, demi masa depan yang lebih cerah dari sepakbola Indonesia kita tercinta. Saya yakin, dalam melangkah ke depan saya tidak akan berjalan sendirian.
Wonogiri, 11 Juli 2008
Bambang Haryanto, pengelola blog Suporter Indonesia (http://suporter.blogspot.com). Gagasannnya mengenai suporter sebagai entertainer telah memenangkan Honda The Power of Dreams Contest Awards 2002 dan profilnya ditayangkan di TransTV 29 Juli 2002. Juga pendiri komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia, Epistoholik Indonesia/EI. Situsnya : http://esaiei.blogspot.com. Idenya mengenai pemanfaatan blog untuk menunjang kiprah warga komunitas EI memenangkan Mandom Resolution Awards 2004. Email : humorliner@yahoo.com. HP : +6281329306300.
Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng Aeng. Pendiri komunitas suporter Solo, Pasoepati. Blognya : http://aengaeng1.blogspot.com. Email : republikaengaeng@gmail.com. HP : +638122594020.