Monday, February 09, 2009

Ulang Tahun Pasoepati ke 9

hari ini tepat 9 tahun pasoepati didirikan, dahulu 9 Februari sekelompok orang mendeklarasikan sebuah kelompok suporter yang akhirnya kita kenal dengan pasoepati. dengan seingkatan awal adalah Pasukan Suporter pelita sejati, akan tetapi seiring dengan waktu dan seiring dengan tidak ber home base nya pelita di di solo maka pasoepati berganti singkatan menjadi " pasaukan suporter paling sejati"

Selamat ulang tahun pasoepati, semoga makin bisa mewarnai dunia persuporteran indonesia dan terus menyebarkan virus - virus perdamaian.

================================================================================
sekedar merefleksi sejarah masa lalu kita. sejarah dimana pasoepati selalu disebut dimana mana, sejarah yang saat ini sirna, sejarah yang selalu jadi nosatalgia kalau kita suporter kreatif. terus saja di dengung dengung kan kalau kita suporter kreatif. ya kita dulu memang selalu atraktif tapi itu dulu berbeda jauh dengan sekarang. tulisan ini saya copi dari situs pak bambang haryanto sebagai perenungan sebagaii pembelajaran buat kita pasoepati era ke 3 (setelah pelita, persijatim kemudian persis ) pasoepati jangan dulu kebakaran jenggot dengan isi tulisannya karena itu adalah sebuah cerminan diri kita (buruk muka cermin dibelah) jadikan ini semua semangat, pelecut, tonggak sebuah pemikiran pemikiran revolusioner baru.
Sandyakalaning Pasoepati

Oleh : Bambang Haryanto
Nelson Mandela punya ujaran, sepakbola merupakan aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia. Ujaran Mandela terbukti di Solo tahun 2000, saat tim elit Liga Indonesia asal Jakarta, Pelita Bakrie, memutuskan ber-home ground di Solo. Namanya pun berubah jadi Pelita Solo.

Tanggal 9 Februari 2000 lahirlah kelompok suporternya, bernama Pasukan Soeporter Pelita Sejati (Pasoepati). Sinergi Pelita Solo dan Pasoepati saat itu menjadi gairah baru yang mempersatukan publik bola Solo dan sekitarnya. Pasoepati adalah hasil akal budi seorang praktisi periklanan Solo, Mayor Haristanto. Ia mengambil prakarsa ketika tak ada wong Solo berani jemput bola guna membangun organisasi suporter ketika publik bola Solo terserang eforia karena tiba-tiba hadir tim elit Liga Indonesia di kotanya. Dengan menunggangi gairah warga Solo yang meluap, dipadu sinergi cerdas dengan media massa lokal dan nasional, Pasoepati meroket menjadi meteor di kancah persepakbolaan nasional.

Dengan mengusung tagline revolusi citra baru suporter sepakbola Indonesia, dicoba dibangun kelompok suporter yang juga penghibur di stadion-stadion. Bersemboyan menjunjung tinggi sportivitas dan anti kekerasan, virus Pasoepati menyebar ke seluruh Indonesia. Mayor sendiri, sebagai Presiden Pasoepati, kemudian ikut membidani lahirnya kelompok suporter cinta damai, The Macz Man yang pendukung PSM di Makassar, Asykar Teking yang suporter PSPS di Pekanbaru dan juga kelompok suporter Manado.

Saat itu, saya sebagai Menteri Media dan Komunikasi Pasoepati, mengibaratkan fenomena Pasoepati seperti kisah dongeng sup batu. Kata sahibul hikayat, terdapat dua orang menaruh kuali besar di atas tungku yang menyala, di tengah alun-alun kota. Dalam kuali dimasukkan air dan sebutir batu. Sejurus kemudian dua orang itu segera mengaduk-aduk “masakan”-nya secara sungguh-sungguh dan bersuka ria.

Lalu datanglah orang ketiga. Ia penasaran, ingin tahu apa yang dikerjakan oleh dua orang yang tampak riang tadi. Ia diberitahu bahwa mereka berdua sedang memasak sup yang lezat, tetapi saat itu masih kekurangan wortel. Orang ketiga itu pun pulang. Ia datang kembali membawa wortel yang segera dituangkan ke dalam kuali. Ia pun segera ikut mengaduk-aduknya.

Orang berikutnya datang menyumbang kubis, loncang, seledri, garam, minyak, penyedap rasa, kaldu, daging, dan keperluan sup lainnya. Adonan tersebut makin lama memang terasa menguarkan aroma yang menggugah selera.

Warga Solo, seperti dongeng di atas, saat itu bersemangat memberi (to give) untuk Pasoepati. Meminjam teori Maslow (1954) mengenai hirarki kebutuhan hidup manusia, yang saya rasakan di Pasoepati pada saat itu adalah menggebunya keinginan warga Solo berhimpun guna terpenuhinya kebutuhan tingkat ketiga, yaitu ingin memiliki-dimiliki dan cinta.

Mereka bersemangat untuk berinteraksi dalam Pasoepati guna terbukanya peluang membina persahabatan, memperoleh pengakuan, memiliki identifikasi kelompok dan rasa memiliki sesuatu tujuan bersama. Bahkan pada beberapa individu sudah merambah ke pemenuhan kebutuhan tingkat empat, yaitu kebutuhan terhadap penghargaan, rasa bangga karena memiliki keahlian, prestasi dan prestise dan pemenuhan tingkat kelima dari piramida Maslow, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Kalau tesis Maslow dipadu dengan teori Miller dan Sjoberg (1973) mengenai gaya hidup manusia yang meliputi pekerjaan, hiburan dan hubungan antar manusia, maka Pasoepati adalah perwujudan jenis hiburan tingkat dua. Kalau tingkat pertama seperti menonton televisi, yang pasif, maka hiburan tingkat kedua ini merupakan rekreasi, revitalisasi atau peremajaan diri. Hiburan jenis ini menuntut orang aktif berperanserta untuk mengobarkan semangat, membangkitkan enerji baru, melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan waktu senggang.

Tur-tur keluar kota dan aktivitas Pasoepati yang diperkaya lagu tema dan tagline , misalnya From Solo With Love ketika tur 6/4/2000 menaklukkan Surabaya sampai Pasoepati Embrace The World : I’d Like To Teach The World To Sing pada acara Hut II Pasoepati 9/2/2002 dan peluncuran CD Pasoepati untuk dikirim ke FIFA, Malaysia dan Singapura, sekadar ilustrasi bagaimana Pasoepati mengemas diri sebagai suporter dan entertainer. Buahnya adalah liputan media yang masif, mampu memuaskan ego warganya, bahwa eksistensi dan aksi mereka mendapat pengakuan.

Bulan madu warga Solo dengan Pelita Solo dan Pasoepati, redup tahun 2001. Karena penyandang dananya, konglomerat Bakrie, mengalami kesulitan keuangan, Pelita Solo memutuskan bergabung klub Krakatau Steel di Cilegon, tahun 2001. Kekosongan di kota gila sepakbola ini diisi dengan kehadiran tim Persijatim, asal Jakarta Timur.

Pada tahun yang sama Mayor mengundurkan diri dari Presiden Pasoepati. Untuk memuluskan perpindahannya ke Solo, fihak Persijatim memberikan konsesi kepada pengurus Pasoepati yang baru, yang dijabat oleh Satryo Hadinagoro-Bimo Putranto, menjadi panitia pelaksana pertandingan (panpel) Persijatim di Stadion Manahan.

Mulailah kepribadian Pasoepati mendapat ujian berat. Pada awal berdiri, saya ikut memimpikan bahwa bahwa Pasoepati adalah lembaga hiburan dan wisata yang berkeanggotaan cair, sirkulasi kepemimpinannya seperti formasi burung bangau terbang dan sebagai wahana untuk belajar berorganisasi dan berdemokrasi. Tetapi dengan berstatus sebagai panpel, terutama ketika uang ikut bermain, ketika kedudukan adalah fasilitas, saya tahu bahwa impian awal saya tentang Pasoepati sudah memudar.

Jiwa Pasoepati pun terbelah, karena kini ada perbedaan kasta pada dirinya. Ada Pasoepati yang mendapat bayaran versus Pasoepati yang membayar. Tanpa disadari, sejak itu Pasoepati ibarat melakukan harakiri. Ketidakadilan ini memang tidak keras disuarakan oleh warganya, tetapi mereka mengambil aksi cerdas : hari demi hari semakin susut drastis kehadiran mereka di stadion Manahan.

Mengambil lagi tesis Maslow, karena pengurusnya bekerja untuk uang, berpamrih (to get ), maka kini motif mereka berkiprah dalam Pasoepati menjadi merosot pada piramida Maslow tingkat terbawah. Yaitu pemenuhan kebutuhan fisiologis manusia yang bersifat primitif, meliputi rasa lapar dan haus, kebutuhan yang relatif sederhana, mementingkan diri sendiri, tetapi sekaligus yang paling pokok untuk mendukung kelangsungan hidup itu sendiri.

Dampak yang lain, akibat uang orang berusaha mempertahankan kedudukan. Status quo. Sehingga tidak ada lagi sirkulasi dalam organisasi, tak ada sirkulasi kreasi, yang ada adalah kemandekan.

Itulah gambaran aktual Pasoepati saat ini., ketika masa jabatan Satryo Hadinegoro-Bimo Putranto mendekati akhir. Pasoepati yang dulu dominan memerahkan stadion Manahan, sudah menjadi masa lalu. Kini hanya puak-puak sporadis dan tidak lagi bernyanyi. Panpel pun menuai kerugian.

Ditambah isu mengenai tidak stabilnya kondisi keuangan Persijatim, bahkan tawaran pengambilalihan induk /pemilik tim Persijatim (yaitu klub Bina Taruna) oleh investor Solo juga tidak mendapat respons memadai dari fihak Pemerintah Kota Solo, membuat hengkangnya Persijatim dari Solo tinggal pula menghitung hari.

Ujaran Nelson Mandela bahwa sepakbola sebagai pemersatu, mungkin nanti hanya tinggal kenangan indah bagi publik Solo.

Bambang Haryanto, warga Pasoepati, Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI), Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli yang tercatat MURI.

0 komentar:

1