Thursday, March 27, 2008

Sepakbola Indonesia : Hanya Untuk Bisnis dan Bukan Untuk Prestasi Atau Kebanggaan Nasional !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com

Moral Sepak Bola ! Novelis, dramawan dan esais Perancis Albert Camus (1913–1960) pernah berujar bahwa sepanjang keyakinannya mengenai moralitas dan tanggung jawab ia merasa berhutang dari sepak bola. Umpama dirinya sekarang (foto) masih hidup dan melihat drama yang terjadi di organisasi sepak bola Indonesia, PSSI, mungkin ia akan mati mendadak karena memendam frustrasi berat.


Kita lihat, ketua umumnya Nurdin Halid harus masuk penjara tersangkut perkara korupsi. Kemudian badan tertinggi sepak bola dunia FIFA memerintahkan dilakukan pemilihan ulang ketua umum. Tetapi kalangan petinggi PSSI itu ramai-ramai ingkar demi mempertahankan kursi ketua umumnya itu. Kalau sudah begini, dimana moral dan tanggung jawab dari roh sepak bola itu di mata mereka ?

Dalam kemelut yang menyedihkan dari wajah sepak bola kita, di mana pula suara suporter sepak bola Indonesia ? Di antara ratusan ribu atau bahkan jutaan penggila bola di tanah air itu apa benar-benar tidak ada sosok yang cerdas, punya nurani, punya moral dan juga aksi yang bertanggung jawab untuk ikut menyelamatkan sepak bola Indonesia ?

Jock Stein pernah bilang, sepak bola itu omong kosong apabila tanpa suporter. Maka sepak bola Indonesia juga hanya omong kosong apabila para suporter kita untuk sementara ini, di tengah melambungnya sikap arogansi petinggi PSSI yang melecehkan moral dan tanggung jawab itu, memutuskan sepakat untuk libur sementara waktu dalam menonton semua pertandingan sepak bola Indonesia !


Itulah surat pembaca saya yang dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 8/11/2007. Kemudian kita dapat bercermin dari berita di Kompas (5/12/2007 : hal. 30) berjudul “Penonton Tinggalkan Liga Djarum.” Dikisahkan bahwa pertandingan Liga Djarum Indonesia (LDI) di sejumlah kota di Sulawesi Utara yang diikuti 3 tim , Persma Manado, Persmin Minahasa dan Persibom Bolaang Mongondow, mulai ditinggalkan penonton. Jumlah penonton pada beberapa pertandingan di 3 kota tersebut rata-rata di bawah 5 ribu orang.

Alasan utama minimnya penonton hadir di stadion adalah kebijakan ekstrem PSSI yang meniadakan sistem degradasi dan promosi bagi klub peserta LDI tahun ini. Panitia LDI di Manado, Jantje Supit dan Kudji Moha, pengurus Persibom di Manado (4/12/2007), mengatakan bahwa penurunan minat penonton karena iklim LDI, terutama di klub penghuni papan tengah dan bawah, yang tidak lagi kompetitif.


Pantas Menuju Kematian. Sepakbola Indonesia yang mulai ditinggalkan penonton senyatanya adalah sepakbola penuh rekayasa. Peraturan begitu mudah berganti-ganti, tetapi pada ujungnya hanyalah jeblognya prestasi demi prestasi timnas kita di pertandingan internasional. Penghamburan uang negara dengan mengirim mereka berlatih ke luar negeri, misalnya ke Belanda sampai Argentina, tidak lain hanyalah tipuan kehumasan untuk memoles citra. Trik semacam ini sudah berlangsung sejak jaman Primavera di era 1980-an dan semuanya berbuah kegagalan.

Semua kepahitan tentang kegagalan itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Kita tidak pernah serius mengoreksi, karena kita cenderung lebih suka melupakannya. Kita memang bangsa yang mudah lupa, sehingga akhirnya semua yang terjadi kita anggap sebagai suatu kewajaran yang biasa terjadi. Walau pun terjadi berulang sekali pun. Sungguh malang bangsa yang mudah pelupa ini.

Di luar urusan sepakbola, sebagai contoh, kebanyakan kita saat ini mungkin sudah benar-benar melupakan peristiwa terbunuhnya wartawan Yogya Udin. Juga meninggalnya pejuang buruh Marsinah, hilangnya penyair Wiji Thukul, tak ingat lagi peristiwa Semanggi I dan II, dan mungkin sebentar lagi terbunuhnya pejuang hak-hak asasi manusia Munir sudah pula kabur serta sirna dari ingatan kita. Memang, kebanyakan kita mudah terperangkap oleh dunia kecil kita sendiri. Kita pun cenderung cuek, tidak ambil peduli untuk mempertahankan ingatan terhadap hal-hal yang tidak secara langsung terkait dengan hidup kita.


Kembali ke masalah lapangan hijau, dapatkah kita ingat data secara akurat, misalnya berapa kali timnas kita melakukan pertandingan resmi, dan bagaimana data prestasinya sepanjang usianya 77 tahun kini ? Benarkah Kurniawan Dwi Yulianto telah mengemas 33 gol untuk timnas, dan sekaligus juga merupakan gol yang terbanyak ? Kemudian, berapa kali Ronny Pattinasarani, Bambang Nurdiansyah, Bambang Pamungkas atau Ponaryo Astaman, membela tim nasional kita ? Berapa gol yang sudah mereka ciptakan untuk timnas dan selama kariernya sebagai pemain profesional ?

Sebagai penyegar ingatan : timnas kita memiliki rekor memasukkan gol terbanyak dalam pertandingan di Jakarta, 23 Desember 2002. Saat itu kita bertanding melawan Filipina. Skor : 13-0. Sementara itu pada tanggal 3 September 1974, di Copenhagen, Denmark, timnas kita meraih rekor terjelek dalam kemasukan gol. Saat itu kita dicukur Denmark : 9-0 !

Data berikut ini barangkali juga sudah kita lupakan. Timnas U-23 kita, walau sempat berlatih 4 bulan untuk menghabiskan biaya 28 milyar rupiah di Belanda, tersingkir ketika mengikuti kualifikasi Asian Games di Dhoha 2006. Saat mereka dilumat 0-6 oleh Iran, asisten pelatih Bambang Nurdiansyah seperti dikutip wartawan Kompas Syamsul Hadi yang ditanyai BBC (20/11/2006), mengatakan bahwa Ferry Rotinsulu dan kawan-kawan bermain dengan “gaya sepakbola Melayu, bukan sepakbola Eropa.” Konkritnya : saat itu mereka mendapatkan hukuman dua kartu merah dan enam kartu kuning. Selanjutnya digebuk Suriah 1-4 dan ditahan 1-1 oleh Singapura.

Timnas senior kita, Ponaryo Astaman dkk, di babak kualifikasi Piala Dunia 2010 dipermalukan oleh Suriah dengan skor 1-4 di Senayan. Lalu muncul ide gila PSSI, saat bertanding di Damascus dikirimkan tim U-23 yang akhirnya diremuk 7-0 lagi oleh Suriah. Terhentinya tim U-23 tersebut di ajang SEA Games XXIV/2007, sehingga gagal masuk semi final karena kalah dari Thailand 1-2, merupakan bukti nyata yang terakhir mengenai kemandegan prestasi sepakbola kita. Semua fakta di atas mudah kita lupakan. Sekaligus tidak pernah menjadi bahan pelajaran bagi para petinggi sepak bola kita untuk berbenah diri !


PSSI Nurdin Halid, Inc. ! Keledai itu pun masuk lubang lagi, bahkan lubang yang sama. Awal Desember 2007 terbetik kabar buruk bahwa klub Indonesia kehilangan peluang (lagi) untuk berlaga di ajang Champions Asia. Masih ingat peristiwa yang sama, tahun 2006 lalu ? Ketika itu PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) tidak becus mengelola pekerjaan administratif, urusan surat-menyurat. Akibatnya pun fatal. Indonesia mendapat sanksi tanpa kompromi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) yang membuat tim Persipura (Jayapura) dan Arema (Malang) gagal berlaga di ajang kompetisi Liga Champions Asia 2006.

Adakah kejadian beruntun yang memalukan itu patut disesali, apa pun penyebabnya, oleh para petinggi PSSI kita ? Kiranya tidak. Karena mereka pun sadar dan tahu bahwa pengiriman tim apa pun ke luar negeri hasilnya dapat dipastikan : jeblog. Sehingga dalam menyikapi konsekuensi pahit itu PSSI telah mengambil “solusi” penyelamatan dirinya secara dini : lebih baik dihujat publik karena alasan ketidakberesan administrasi daripada menelan fakta nyata dan pahit tentang kegagalan tim-tim kita di ajang Champions Asia dan ajang internasional lainnya.

PSSI alergi untuk pertandingan internasional. PSSI pimpinan Nurdin Halid lebih bergairah mengutak-utik sepak bola domestik, karena di sanalah uang besar itu berada. Terkait hal satu ini saya ingat lelucon Yahudi tentang seseorang penjudi yang selalu menang dalam berjudi kartu, tetapi selalu kalah dalam taruhan pacuan kuda. Mengapa selalu kalah dalam judi pacuan kuda ? Karena kuda-kuda pacuan itu tidak bisa dikocoknya !

Nurdin Halid dan rejimnya jelas tidak mampu “mengocok” hasil-hasil pertandingan tim kita di ajang internasional. Tetapi untuk sepak bola domestik, ia mampu melakukannya. Ia pernah bilang dengan bangga bahwa kompetisi di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, baik dalam jumlah klub mau pun luas wilayahnya. Itulah proklamasi pengesahan betapa Nurdin cenderung memilih menjadi katak dalam tempurung. Atau burung dalam sangkar yang berpikiran bahwa cat biru atap sangkarnya sebagai langit jagat rayanya. Itulah dunia nyata Nurdin Halid kini. Itulah pula dunia bisnisnya, PSSI Nurdin Halic Inc., yang dipertahankan sekuatnya dengan setia bersama kroni pendukungnya.

Apa saja aksi-aksi bisnisnya yang menonjol ? Eksekusi bisnis PSSI Nurdin Halid Inc. yang mencolok adalah melakukan pemekaran jumlah klub yang berlaga di Liga Indonesia. Yang semula 28 klub menjadi 36 klub. Bahkan untuk masa akhir masa kompetisi 2007 nanti, sambil tidak memikirkan hancurnya spirit kompetisi, Badan Liga Indonesia (BLI) telah memutuskan untuk meniadakan degradasi. Mengapa keputusan ini ia tempuh ?

Sepak bola adalah bisnis kerumunan. Semakin banyak kerumunan memenuhi stadion, semakin menguntungkan bisnis itu. Semakin banyak kota menggelar pertandingan sepak bola semakin baik bagi bisnis tontonannya. Karena uang PSSI keruk bukan semata dari hasil penjualan tiket pertandingannya, tetapi yang utama adalah bisnis periklanan yang menyertainya.

Eyeballs business.

Itulah makanya sekarang sepak bola Indonesia gencar disiarkan oleh televisi. Sekadar catatan, fihak televisi swasta yang memenangkan hak siar Liga Indonesia adalah ANTV, yang tidak lain merupakan salah satu bisnis keluarga Nirwan Bakrie, salah satu petinggi PSSI. Banyak kalangan berpendapat, selama ini pula PSSI yang memonopoli pemasukan dari sponsor, yang mencapai angka milyaran rupiah. Sementara klub-klub yang bertanding hanya memperoleh cipratan duit-duit recehan belaka.

Geriap nafsu yang kini subur berkembang di seputar kantor PSSI di Senayan adalah, mari kita berpesta, dengan cara Anda sendiri-sendiri, guna mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari sepak bola Indonesia. Pucuk pimpinan, para eksekutif, pelatih, bahkan wartawan peliput dan pentolan suporter, semuanya berusaha menemukan kapling terbaik bagi mereka untuk memperoleh keuntungan. Kalau cara kapitalisme ini dilaksanakan dengan jujur, terbuka dan transparan, tidak ada masalah. Tetapi apakah hal itu sudah berjalan di tubuh PSSI kita ?


Sepak Bola dan Politik. PSSI juga ibarat lintah raksasa ganas yang menghisap habis dana-dana daerah. Anda sudah maklum, dari mana klub-klub peserta Liga Indonesia memperoleh dana untuk hidup selama ini ? Sebagian besar menyusu kepada APBD. Kebijakan semacam inilah yang menelorkan “sepak bola plat merah” dengan segala komplikasinya. Banyak kepala daerah tampil sebagai ketua umum, sementara anak atau pun menantu, menjadi manajernya.

Dampaknya, banyak sekali klub-klub Liga Indonesia dijadikan objek bisnis, tentu saja bermotifkan uang, pengaruh mau pun kepentingan politik birokrat daerah setempat. Semua itu adalah wajar bila berada dalam koridor transparansi dan fair play. Tetapi karena penyakit pengaturan skor dan bahkan mungkin pengaturan juara merupakan rahasia umum di Indonesia, maka kembali kita saksikan betapa sepak bola Indonesia dicabik-cabik roh dan badannya, kini dari kubu lain, yaitu justru oleh pengurus klub itu sendiri !

Penyimpangan lain dalam industri sepak bola Indonesia yang juga menyakitkan, begitu tegas Sumaryoto, mantan Pengda PSSI Jawa Tengah dan salah satu penggagas Liga Indonesia, bahwa kita justru membina para pemain asing. Dalam satu pertandingan setiap klub boleh memainkan lima pemain asing. Artinya, hanya enam pemain lokal yang berkesempatan menunjukkan prestasinya. Secara tidak langsung, kita telah menggunakan sebagian dari dana APBD tersebut untuk membina pemain asing, tandasnya.

Kini, terkait ulah klub-klub yang selama ini hanya mampu menyusu APBD, mesin uang Liga Indonesia dari bisnis sepak bolanya PSSI Nurdin Halid Inc. mendapatkan guncangan keras. Yaitu akibat adanya larangan penggunaan dana APBD untuk klub/tim sepak bola mulai tahun 2008. Kemana kira-kira PSSI akan berpaling untuk mempertahankan bisnisnya yang lukratif itu ?


Saudagar Kematian Serbu Indonesia ! Menurut hemat saya, PSSI akan berusaha mati-matian mengeruk kocek secara lebih dalam lagi para sponsor, yaitu perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia. Mungkin tidak hanya perusahaan rokok domestik, melainkan juga beberapa perusahaan rokok raksasa (ingat, Djie Sam Soe sekarang ini sudah dimiliki perusahaan rokok Phillip Morris, penghasil Marlboro, dari Amerika Serikat !) dari manca negara lainnya.

PSSI mungkin merasa memiliki kartu As, karena penduduk Indonesia didominasi usia muda, rata-rata menyukai sepak bola, sehingga merupakan potensi untuk dijual sebagai sasaran iklan rokok yang sangat menggiurkan melalui sepak bola. Peluang itu terbuka. Banyak pendukungnya.

Sekadar contoh, simak di kalangan pelatih klub yang sering muncul di televisi dengan aksi merokoknya. Misalnya, Arcan Yuri, Bambang Nurdiansyah, Bonggo Pribadi sampai Suimin Diarja. Iswadi Idris, tokoh PSSI, adalah perokok setia. Sementara Sutan Harhara adalah komentator di televisi yang suka mengglamorisasikan aksinya sebagai chain smoker ketika mengikuti tim yang ia latih sedang berlaga.

Tambahan ilustrasi : beberapa tahun lalu saya sempat menguping obrolan awak bus yang dicarter klub peserta Liga Indonesia untuk tur ke kota-kota tempat mereka bertanding. Awak itu bercerita, busnya yang berpendingin itu terus dipenuhi asap rokok. Sementara pesawat televisinya diminta para penumpang untuk hanya menayangkan video porno dan rombongan tersebut sering berhenti di restoran untuk makan-makan.

Cerita-cerita biru semacam ini tidaklah pernah muncul di media massa mainstream olahraga kita. Tetapi saya yakin, suatu saat bila jurnalisme warga (citizen journalism) merambah dunia sepak bola dan suporternya, hal-hal negatif dan bobrok-bobrok di belakang layar panggung Liga Indonesia itu akan terbongkar dengan sendirinya.

Kembali ke masalah dominannya produk rokok sebagai sponsor sepak bola Indonesia, hal itu tidak bisa dilepaskan dari konstelasi global mengenai perang bisnis rokok yang mengimbas deras ke negara kita dewasa ini. Saya tulis drama mengerikan itu di kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah (28/10/2004), di bawah ini. Kalau Anda bersedia, pikirkanlah konsekuensi yang bakal disandang oleh bangsa Indonesia di masa depan.

Wartawan William Ecenbarger dalam artikel berjudul America’s New Merchants of Death, Saudagar-Saudagar Kematian Baru dari Amerika Serikat (Reader’s Digest, 4/1993 : 17-24) menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru semakin agresif memindahkan pasarnya ke luar negeri. Karena sebagai negara maju dengan penduduknya berpendidikan, berkesadaran tinggi menjaga kesehatan, membuat konsumsi rokok semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas.

Sasaran perpindahannya justru negara miskin dan berkembang. Indonesia dengan penduduk ratusan juta, jelas merupakan pasar sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran bidik utama mereka. Mengapa anak-anak ?

Ketika perokok tua berhenti merokok atau meninggal, masa depan industri rokok bergantung kepada keberhasilan perekrutan konsumen baru mereka, yaitu anak-anak dan kaum muda. Terlebih lagi dari hasil kajian didapat data bahwa seseorang mulai merokok rata-rata pada umur 12 – 16 tahun. Mereka yang tidak merokok ketika berumur 18 tahun akan tidak kecanduan merokok.

Ketika serbuan rokok Amerika mengganas di Indonesia, reaksi apa yang dilakukan industri rokok Indonesia ? Melawan. Terjadilah perang sengit antarsaudagar kematian dan anak-anak muda kita yang jadi korban. Apalagi bom-bom nikotin itu mereka poles sebagai citra gaya hidup muda, gaul, gaya, funky, masa kini.

Sampai-sampai mahasiswa dan dosen dua perguruan tinggi negeri, UNS di Solo dan Undip di Semarang Jawa Tengah (Kompas Jawa Tengah, 17/9/2004), mau termehek-mehek dan terbius sihir promosi rokok berselubung seminar pendidikan akibat julignya kreator iklan mengemas produk yang berbahaya untuk dikonsumsi anak-anak muda kita.

Perang antarsaudagar kematian di atas mirip fenomena perang melawan teroris di negeri kita, pasca 11 September 2001. Saat itu Amerika Serikat bangkit, bergegas menata diri memerangi terorisme. Peraturan imigrasi yang ketat sampai kewaspadaan tinggi, mampu mempersempit ancaman teroris. Akibatnya, teroris memindahkan teaternya melawan AS dan sekutunya di negara-negara luar AS. Termasuk ke Indonesia, di mana teror bom di Bali, Hotel Mariott Jakarta dan di depan Kedubes Australia adalah contoh aktualnya.

Sebagaimana contoh terorisme di atas, perang perebutan pasar rokok merembet ke negara kita. Indonesia karena perangkat hukum relatif lemah dalam regulasi rokok, bahkan presiden perempuan kita enggan menandatangani FCTC, menjadikan negeri ini ideal dijadikan arena perang antarpara penjaja bom-bom nikotin itu.

Korbannya ? Menteri Kesehatan AS Richard Carmona mengutip isi Laporan Pemerintah AS No. 28 (Deutsche Presse-Agentur, 27/5/2004) menyatakan bahwa merokok mengakibatkan penyakit untuk semua organ tubuh, pada semua tingkatan usia, di seluruh dunia. Tercatat 440.000 warga AS meninggal tiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan merokok dan menghamburkan biaya 157 milyar dollar per tahun, di mana 75 milyar untuk pengobatan dan 82 milyar dollar untuk produktivitas kerja yang hilang.

Itu di Amerika Serikat, sebuah negeri kaya yang penduduknya kebanyakan berpendidikan dan memiliki kesadaran kesehatan yang tinggi. Bagaimana jumlah korban dan kerugian akibat bom-bom nikotin di Indonesia ?
Siapa saja mereka ?


Rusuh Tanda Kehidupan ! Mereka para korban perang teror nikotin itu, tentu saja, termasuk para suporter sepak bola Indonesia. Bisa jadi juga Anda, anggota Aremania, Bonekmania, Brajamusti, Kampak, Laskar Benteng Viola, Panser Biru, Pasoepati, Slemania atau pun Viking. Siapa tahu ?

Tetapi kalau Anda memeriksa agak teliti profil perokok di sekitar Anda, maaf bila saya banyak salah, apakah yang bakal Anda temukan adalah mereka dengan ciri-ciri seperti berikut ini ? Dirinya berpendidikan rendah dan juga berpenghasilan rendah. Sekadar info penguat : harian Jawa Pos Radar Yogya melalui BBC (14/12/2007) melaporkan bahwa dua pertiga dari 19 juta penduduk miskin Indonesia adalah perokok. Bayangkan kemudian : untuk kebiasaan buruk yang mencandu itu pada sepanjang tahun 2006 mereka telah rela menghabiskan uangnya untuk membeli rokok sebesar 23 trilyun rupiah !

Sinergi antara industri rokok dan dunia sepak bola Indonesia, dengan demikian, mampu memunculkan konsklusi secara hipotetis betapa industri sepak bola Indonesia dapat hidup tetapi harus ada yang menjadi tumbal atau korban. Yaitu rakyat Indonesia yang berpendidikan rendah dan berpenghasilan rendah. Saya ingat cerita sobat Aremania saya, Ponidi Thembel dan Heru. Keduanya bilang, bila menjelang pertandingan besar tim Arema, maka tempat di sekitarnya banyak orang yang kehilangan sandal, pakaian, sampai ayam dan burung peliharaan.

Api yang membara di dada sehingga mendorong seseorang suporter berani melakukan tindak kriminal agar mampu membeli tiket pertandingan tim kebanggaannya, itulah benteng terakhir hidup dan matinya sepak bola Indonesia. Ketika prestasi tim nasional hanya jeblog dan jeblog belaka, maka kebanggaan kedaerahanlah yang dikobar-kobarkan oleh insan-insan sepak bola kita.

Fanatisme sempit bahwa tim dari daerah lain dan juga suporternya merupakan lawan yang harus dihancurkan, merupakan api yang ibarat terpercik bensin ketika suporter tim-tim yang berseteru itu saling berhadapan. Dengarkan nyanyian mereka di stadion-stadion, maka ungkapan “bantai” sampai “dibunuh saja” menjadi lirik yang lajim dalam lagu-lagu perang mereka. Sehingga bila Hugh McDiarmid bilang bahwa fanatisme sepak bola dan intelektualitas tinggi jarang mampu berjalan bersama, begitu pula yang terjadi di lanskap dunia suporter sepak bola Indonesia.

Langkanya kalangan suporter sepak bola Indonesia yang memiliki intelektualitas tinggi, sebagai contoh, membuat cita-cita pembentukan organisasi payung suporter bernama Asosiasi Suporter Sepak Bola Indonesia (ASSI) yang independen seperti The National Federation of Football Supporters' Clubs di Inggris (1927), belum berhasil. Ada upaya untuk membentuk itu, tetapi untuk pertemuan saja yang membiayai adalah Badan Liga Indonesia (BLI) dan sponsor PT HM Sampoerna, maka independensinya jelas sangat diragukan bila pun ASSI nanti jadi didirikan.

Sementara itu di lapangan, teriakan perang bantai dan bunuh atas nama semangat kedaerahan, itulah bensin yang mampu menggulirkan bola dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. Inilah potret nyata kita, energi sepak bola Indonesia adalah semangat primordialisme. Semangat kedaerahan yang sempit, yang mampu mengancam pecah belahnya Indonesia !

Semua itu sunggguh bertolak belakang dengan semangat ketika Ir. Soeratin Soesrosoegondo (17/12/1898 – 1959) dan kawan-kawan pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta berbulat tekad mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). Istilah sepakraga diganti sepak bola dalam Kongres PSSI di Solo tahun 1950. Dalam pertemuan itu seperti diwartakan oleh harian Sediotomo (22/4/1930) ikut disimpulkan bahwa sepak bola “dipandang djoega kekoeatan akan tjapai kemadjoean bangsa.” Organisasi ini boleh dikatakan sebagai wujud Sumpah Pemuda 1928. Nasionalisme coba dikembangkan melalui olahraga sepak bola.

Demikianlah, sepak bola diimpikan para pendiri PSSI sebagai kekuatan untuk mencapai kemajuan bangsa. Tolok ukurnya dalam melihat kemajuan itu tidak lain adalah dengan bertanding melawan tim-tim bangsa lain di ajang internasional. Sayangnya, kasus mutakhir yang mencoreng kinerja PSSI-nya Nurdin Halid, untuk kedua kalinya, adalah masalah gagalnya peluang tim kita melawan tim dari luar negeri. PSSI yang justru menggagalkan peluang klub kita untuk terjun di ajang Champions Asia 2008. Bukti ini jelas merupakan pengingkaran pengurus PSSI masa kini atas cita-cita mulia para pendiri PSSI sendiri !

Semua kesalahan atau pun blunder demi blunder PSSI masa kini, mungkin semuanya berasal dari masalah moral. Sepak bola yang oleh Albert Camus dilihat begitu mulia, dalam segi pembinan moral dan tanggung jawab, kini di Indonesia hanyalah parade sandiwara menyedihkan yang penuh reka yasa. Baiklah, Nurdin Halid dan kawan-kawan itu boleh saja tidak mengenal Albert Camus. Tetapi bukankah mereka mengenal Sepp Blatter, petinggi FIFA ?

Mungkin ia akan menjawab : “Kenal, sih kenal. Tetapi karena sepak bola Indonesia kini aku putuskan untuk hanya berorientasi ke dalam, inward looking, demi interes bisnis saya dan kawan-kawan, maka masa bodoh dengan Sepp Blatter, FIFA atau pun segala keputusannya tentang kepemimpinan saya.”

Bangsa Indonesia, bersiaplah.

Nurdin Halid dan kawan-kawan nampaknya akan nekad menggaet serta sepak bola Indonesia untuk terjun bebas, menuju jurang kehancuran bersama dirinya. Mungkin kehancuran inilah yang justru kita tunggu, sehingga muncul kemungkinan lahirnya generasi baru pengelola dunia persepakbolaan Indonesia yang lebih baik. Apa yang bisa Anda kerjakan, wahai, para suporter sepak bola Indonesia ?




0 komentar:

1