Thursday, May 14, 2009

Budaya Kitakah Sepakbola?

Penghujung bulan April 2004 lalu, lagi-lagi Indonesia diberi kado akhir bulan yang cukup menarik. Rangkaian bentrokan dengan skala variatif yang terjadi di tiga propinsi yang terjadi hanya dalam kurun waktu satu minggu. Yang pertama tentu saja pertikaian Ambon yang sekali lagi mengundang korban jiwa dari kedua belah pihak yang bertikai. Yang kedua bentrokan antara aparat melawan simpatisan Kyai Abu Bakar Ba’asyir di Jakarta. Memang tak ada korban jiwa dari bentrokan ini, tapi bekas kerusakan tentu saja sangat membekas di sekitar Rumah Tahanan Salemba.

Yang terakhir tentu saja bentrokan antara demonstran mahasiswa dengan aparat kepolisian di Makasar. Sekurangnya 61 orang terluka dalam bentrokan yang sama sekali tidak seimbang ini. Tak usah heran jika semua korban datang dari pihak mahasiswa, jangan juga heran jika ada diantara korban yang mengalami luka tertembak. Tayangan sebuah televisi swasta yang saya lihat, menunjukkan tembakan memang dilepaskan langsung ke sasaran.

Bukan cuma dilakukan oleh mereka yang berseragam, tapi juga oleh mereka yang berseragam dan berambut gondrong, yang biasanya hanya bisa kita temui di acara-acara berita kriminal di televisi. Jangan juga heran jika para mahasiswa hanya bisa berlarian untuk kemudian terpojok ke kelas-kelas mereka. Anak-anak muda yang katanya penerus bangsa ini sama sekali tidak bersenjata. Batu hanyalah senjata tercanggih yang mereka punya.

Mungkin Anda menganggap tidak ada kesamaan yang signifikan antara ketiga peristiwa diatas. Tapi pastinya ada kesamaan tegas antara peristiwa kedua dan ketiga. Dalam kedua peristiwa tersebut pihak kepolisian secara terang-terangan melakukan serangan balasan—baik dengan batu maupun senjata api—ke arah massa yang di atas kertas bisa ditaklukkan hanya dengan pentungan, water canon dan tameng keamanan.

Di banyak negara setiap aksi massa tak selalu dilawan dengan kekerasan. Setidaknya di ruang-ruang publik, setiap aksi massa selalu dihalau, bukan ditimpali dengan serangan kekerasan tandingan. Lihat bentrok di Paris, Seattle, Genoa, Seoul, Milan, Brussels dll. Jika pun kemudian terjadi kekerasan, tak pernah dilakukan secara membabi buta dan sporadis.
Di arena sepakbola Belanda-Belgia 2000 adalah salah satu bukti. Dunia sepakbola mengenang tewasnya seorang petugas kepolisian akibat menghalau aksi pendukung tim Jerman. Aksi kekerasan selalu dibalas dengan reaksi dan bukan aksi kekerasan lainnya, itulah yang dilakukan oleh petugas kepolisian Belanda-Belgia. Tak satupun tindak kekerasan yang sifatnya melukai mereka lakukan. Paling banter, mereka hanya menghalau sampai radius sejauh mungkin gerak maju hooligan asal Jerman, Inggris, Turki atau pendukung tim manapun yang memang doyan mengamuk.

Bangsa Eropa dengan segala kekurangannya adalah bangsa termaju di belahan bumi ini. Mereka nyaris selalu memiliki system untuk memecahkan sebuah masalah. Budaya mereka yang relatif cukup tua dibandingkan dengan budaya bangsa-bangsa lain—bahkan Amerika sekalipun—membuat mereka menjadi matang pada hal-hal yang sifatnya preventif.
Lalu, mengapa kita tidak coba mencontoh mekanisme maupun sistem yang diterapkan oleh bangsa Eropa terhadap sepakbola? Bisa jadi karena kita sudah terlalu besar kepala pada apa yang selalu kita agung-agungkan sebagai “budaya bangsa”. Akar budaya yang katanya “menancap tajam di sanubari setiap anak bangsa”

Padahal kalau mau dipikir-pikir, budaya bangsa yang mana? Kekerasan ternyata adalah menu utama yang telah kita akrabi. Rasa aman yang sempat kita rasakan ternyata semu. Imbasnya kekerasan adalah bagian dari hidup kita. Parahnya, kekerasan kini telah merasuk dengan kuat ke arena sepakbola.

Tawuran antar pendukung memang sering terjadi di Eropa, bentrokan di dalam lapangan pun tak jarang terjadi. Anda tentu masih ingat bagaimana Eric Cantona melepaskan tendangan kungfunya, tendangan Maradona yang melayang ke perut Julio Batista, Frank Rijkaard meludahi wajah Rudi Voeller, Johan Cruijjf yang merebut kartu kuning untuknya dan kemudian membantingnya serta peristiwa-peristiwa berkonotasi kekerasan lainnya.

Seperti telah menjadi konvensi, bahwa apa yang terjadi di lapangan akan diselesaikan di lapangan, demikian pula yang terjadi di luar lapangan. Pihak keamanan memberi rasa aman yang maksimal. Di lain pihak, penonton—apalagi official tim—tidak akan ikut campur pada bentrok-bentrok yang terjadi di dalam lapangan. Lihat partai penting antara AC Milan melawan AS Roma. Ketika hadiah penalti yang sebenarnya adalah hak Francesco Totti dan kawan-kawan dirampas begitu saja oleh wasit Alessandro Messina, tak ada reaksi berlebihan dari Fabio Cappello atau siapapun yang duduk bersamanya di bangku cadangan.

Tak ada aksi intimidasi ataupun pemukulan yang dilakukan oleh pendukung maupun official tim asal ibukota Italia itu. Sementara di Indonesia, seorang wasit harus rela ketakutan pada ancaman yang bisa saja dialami ketika ia hanya bermaksud untuk berbuat tegas. Seorang wasit bisa melepaskan tugasnya di babak kedua hanya “karena” aksi intimidasi dari tim tuan rumah. Lebih dari itu, seorang wasit bisa pulang dengan kepala benjol dan luka di pelipis akibat pukulan seseorang tanpa identitas jelas yang seenak udelnya bisa masuk ke dalam lapangan. Lebih lucu lagi, tak seorangpun pihak keamanan yang mengambil langkah tegas atas aksi-aksi barbar macam itu.

Pernahkah Anda menemukan keajaiban macam itu di sepakbola Eropa yang katanya menjadi kiblat kita di kala siaran langsungnya masuk ke TV-TV swasta nasional?

Ah…temukan saja hal tersebut di sepakbola Indonesia. Mungkin juga karena kekerasanlah budaya kita, bukan sepakbola.

0 komentar:

1