Wednesday, May 21, 2008

Sandyakalaning Pasoepati (catatan sejarah) sebuah kritik buat kita

sekedar merefleksi sejarah masa lalu kita. sejarah dimana pasoepati selalu disebut dimana mana, sejarah yang saat ini sirna, sejarah yang selalu jadi nosatalgia kalau kita suporter kreatif. terus saja di dengung dengung kan kalau kita suporter kreatif. ya kita dulu memang selalu atraktif tapi itu dulu berbeda jauh dengan sekarang. tulisan ini saya copi dari situs pak bambang haryanto sebagai perenungan sebagaii pembelajaran buat kita pasoepati era ke 3 (setelah pelita, persijatim kemudian persis ) pasoepati jangan dulu kebakaran jenggot dengan isi tulisannya karena itu adalah sebuah cerminan diri kita (buruk muka cermin dibelah) jadikan ini semua semanagat, pelecut, tonggak sebuah pemikiran pemikiran revolusioner baru.

Sandyakalaning Pasoepati


Oleh : Bambang Haryanto
Nelson Mandela punya ujaran, sepakbola merupakan aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia. Ujaran Mandela terbukti di Solo tahun 2000, saat tim elit Liga Indonesia asal Jakarta, Pelita Bakrie, memutuskan ber-home ground di Solo. Namanya pun berubah jadi Pelita Solo.

Tanggal 9 Februari 2000 lahirlah kelompok suporternya, bernama Pasukan Soeporter Pelita Sejati (Pasoepati). Sinergi Pelita Solo dan Pasoepati saat itu menjadi gairah baru yang mempersatukan publik bola Solo dan sekitarnya. Pasoepati adalah hasil akal budi seorang praktisi periklanan Solo, Mayor Haristanto. Ia mengambil prakarsa ketika tak ada wong Solo berani jemput bola guna membangun organisasi suporter ketika publik bola Solo terserang eforia karena tiba-tiba hadir tim elit Liga Indonesia di kotanya. Dengan menunggangi gairah warga Solo yang meluap, dipadu sinergi cerdas dengan media massa lokal dan nasional, Pasoepati meroket menjadi meteor di kancah persepakbolaan nasional.

Dengan mengusung tagline revolusi citra baru suporter sepakbola Indonesia, dicoba dibangun kelompok suporter yang juga penghibur di stadion-stadion. Bersemboyan menjunjung tinggi sportivitas dan anti kekerasan, virus Pasoepati menyebar ke seluruh Indonesia. Mayor sendiri, sebagai Presiden Pasoepati, kemudian ikut membidani lahirnya kelompok suporter cinta damai, The Macz Man yang pendukung PSM di Makassar, Asykar Teking yang suporter PSPS di Pekanbaru dan juga kelompok suporter Manado.

Saat itu, saya sebagai Menteri Media dan Komunikasi Pasoepati, mengibaratkan fenomena Pasoepati seperti kisah dongeng sup batu. Kata sahibul hikayat, terdapat dua orang menaruh kuali besar di atas tungku yang menyala, di tengah alun-alun kota. Dalam kuali dimasukkan air dan sebutir batu. Sejurus kemudian dua orang itu segera mengaduk-aduk “masakan”-nya secara sungguh-sungguh dan bersuka ria.

Lalu datanglah orang ketiga. Ia penasaran, ingin tahu apa yang dikerjakan oleh dua orang yang tampak riang tadi. Ia diberitahu bahwa mereka berdua sedang memasak sup yang lezat, tetapi saat itu masih kekurangan wortel. Orang ketiga itu pun pulang. Ia datang kembali membawa wortel yang segera dituangkan ke dalam kuali. Ia pun segera ikut mengaduk-aduknya.

Orang berikutnya datang menyumbang kubis, loncang, seledri, garam, minyak, penyedap rasa, kaldu, daging, dan keperluan sup lainnya. Adonan tersebut makin lama memang terasa menguarkan aroma yang menggugah selera.

Warga Solo, seperti dongeng di atas, saat itu bersemangat memberi (to give) untuk Pasoepati. Meminjam teori Maslow (1954) mengenai hirarki kebutuhan hidup manusia, yang saya rasakan di Pasoepati pada saat itu adalah menggebunya keinginan warga Solo berhimpun guna terpenuhinya kebutuhan tingkat ketiga, yaitu ingin memiliki-dimiliki dan cinta.

Mereka bersemangat untuk berinteraksi dalam Pasoepati guna terbukanya peluang membina persahabatan, memperoleh pengakuan, memiliki identifikasi kelompok dan rasa memiliki sesuatu tujuan bersama. Bahkan pada beberapa individu sudah merambah ke pemenuhan kebutuhan tingkat empat, yaitu kebutuhan terhadap penghargaan, rasa bangga karena memiliki keahlian, prestasi dan prestise dan pemenuhan tingkat kelima dari piramida Maslow, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Kalau tesis Maslow dipadu dengan teori Miller dan Sjoberg (1973) mengenai gaya hidup manusia yang meliputi pekerjaan, hiburan dan hubungan antar manusia, maka Pasoepati adalah perwujudan jenis hiburan tingkat dua. Kalau tingkat pertama seperti menonton televisi, yang pasif, maka hiburan tingkat kedua ini merupakan rekreasi, revitalisasi atau peremajaan diri. Hiburan jenis ini menuntut orang aktif berperanserta untuk mengobarkan semangat, membangkitkan enerji baru, melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan waktu senggang.

Tur-tur keluar kota dan aktivitas Pasoepati yang diperkaya lagu tema dan tagline , misalnya From Solo With Love ketika tur 6/4/2000 menaklukkan Surabaya sampai Pasoepati Embrace The World : I’d Like To Teach The World To Sing pada acara Hut II Pasoepati 9/2/2002 dan peluncuran CD Pasoepati untuk dikirim ke FIFA, Malaysia dan Singapura, sekadar ilustrasi bagaimana Pasoepati mengemas diri sebagai suporter dan entertainer. Buahnya adalah liputan media yang masif, mampu memuaskan ego warganya, bahwa eksistensi dan aksi mereka mendapat pengakuan.

Bulan madu warga Solo dengan Pelita Solo dan Pasoepati, redup tahun 2001. Karena penyandang dananya, konglomerat Bakrie, mengalami kesulitan keuangan, Pelita Solo memutuskan bergabung klub Krakatau Steel di Cilegon, tahun 2001. Kekosongan di kota gila sepakbola ini diisi dengan kehadiran tim Persijatim, asal Jakarta Timur.

Pada tahun yang sama Mayor mengundurkan diri dari Presiden Pasoepati. Untuk memuluskan perpindahannya ke Solo, fihak Persijatim memberikan konsesi kepada pengurus Pasoepati yang baru, yang dijabat oleh Satryo Hadinagoro-Bimo Putranto, menjadi panitia pelaksana pertandingan (panpel) Persijatim di Stadion Manahan.

Mulailah kepribadian Pasoepati mendapat ujian berat. Pada awal berdiri, saya ikut memimpikan bahwa bahwa Pasoepati adalah lembaga hiburan dan wisata yang berkeanggotaan cair, sirkulasi kepemimpinannya seperti formasi burung bangau terbang dan sebagai wahana untuk belajar berorganisasi dan berdemokrasi. Tetapi dengan berstatus sebagai panpel, terutama ketika uang ikut bermain, ketika kedudukan adalah fasilitas, saya tahu bahwa impian awal saya tentang Pasoepati sudah memudar.

Jiwa Pasoepati pun terbelah, karena kini ada perbedaan kasta pada dirinya. Ada Pasoepati yang mendapat bayaran versus Pasoepati yang membayar. Tanpa disadari, sejak itu Pasoepati ibarat melakukan harakiri. Ketidakadilan ini memang tidak keras disuarakan oleh warganya, tetapi mereka mengambil aksi cerdas : hari demi hari semakin susut drastis kehadiran mereka di stadion Manahan.

Mengambil lagi tesis Maslow, karena pengurusnya bekerja untuk uang, berpamrih (to get ), maka kini motif mereka berkiprah dalam Pasoepati menjadi merosot pada piramida Maslow tingkat terbawah. Yaitu pemenuhan kebutuhan fisiologis manusia yang bersifat primitif, meliputi rasa lapar dan haus, kebutuhan yang relatif sederhana, mementingkan diri sendiri, tetapi sekaligus yang paling pokok untuk mendukung kelangsungan hidup itu sendiri.

Dampak yang lain, akibat uang orang berusaha mempertahankan kedudukan. Status quo. Sehingga tidak ada lagi sirkulasi dalam organisasi, tak ada sirkulasi kreasi, yang ada adalah kemandekan.

Itulah gambaran aktual Pasoepati saat ini., ketika masa jabatan Satryo Hadinegoro-Bimo Putranto mendekati akhir. Pasoepati yang dulu dominan memerahkan stadion Manahan, sudah menjadi masa lalu. Kini hanya puak-puak sporadis dan tidak lagi bernyanyi. Panpel pun menuai kerugian.

Ditambah isu mengenai tidak stabilnya kondisi keuangan Persijatim, bahkan tawaran pengambilalihan induk /pemilik tim Persijatim (yaitu klub Bina Taruna) oleh investor Solo juga tidak mendapat respons memadai dari fihak Pemerintah Kota Solo, membuat hengkangnya Persijatim dari Solo tinggal pula menghitung hari.

Ujaran Nelson Mandela bahwa sepakbola sebagai pemersatu, mungkin nanti hanya tinggal kenangan indah bagi publik Solo.

Bambang Haryanto, warga Pasoepati, Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI), Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli yang tercatat MURI.

--------------

Mayor, Steve Jobs dan Masa Depan Pasoepati


Oleh : Bambang Haryanto

Kalau Anda ingin melatih keterampilan kepemimpinan, jadilah pentolan suporter. Jangan tanggung-tanggung, jadilah presidennya. Anda akan menemui tantangan unik, yang bakal tidak Anda jumpai dalam sesuatu enterprise lainnya.

Dalam kemiliteran, kepemimpinan dibangun berdasarkan rank atau pangkat. Hirarkinya seperti piramida. Semakin tinggi pangkat Anda semakin luas kekuasaan Anda. Di sini loyalitas bersandarkan kepada kepatuhan dan disiplin untuk mengikuti perintah atasan. Hal serupa, walau lebih longgar, terjadi di dunia korporasi atau birokrasi. Interaksi di dunia korporasi dan birokrasi dibangun berdasarkan rasa takut. Takut dipecat, tidak memperoleh gaji dan takut tidak naik pangkat.

Dalam dunia suporter, tidak ada hirarki. Setiap orang merasa punya kedudukan sejajar. Sifat keanggotaannya sukarela dan cair. Kalau lagi tak suka jadi suporter, Anda bisa libur. Sehari, seminggu, sebulan atau pun sepuluh tahun, tak ada sanksi. Tak ada pemecatan. Ikatan antarwarga suporter terbangun karena memiliki tujuan yang sama, mendukung tim kesayangan. Dalam konteks interaksi khas demikian, bagaimana cara terbaik menggulirkan roda organisasi seperti itu ? Kita dapat belajar dari sejarah Pasoepati hingga kini.

Menengok ke belakang, sejarah Pasoepati bermiripan dengan jatuh-bangunnya Apple Computers. Pasoepati lahir dari seorang tokoh periklanan Solo, Mayor Haristanto. Ia mengambil prakarsa ketika tak ada wong Solo mau dan berani menjemput bola untuk membangun organisasi suporter ketika publik bola Solo terserang eforia karena tiba-tiba hadir tim elit Liga Indonesia, Pelita Solo, ke kotanya.

Sementara Apple Computers lahir dari wiraswastawan garasi, Steve Jobs bersama Steven Wozniak. Mayor menjadi hero panggung suporter sepakbola Indonesia, sementara Jobs menjadi hero Lembah Silikon dekade 80-an. Keduanya memimpin “perusahaaan”-nya berbekal kreativitas dan karisma.

Bahkan Mayor dapat dikatakan memerintah lebih dekat ke arah gaya “diktator” Lee Kuan Yew saat mendirikan dan membangun Singapura. Ia menganggap dirinya paling tahu kebutuhan Pasoepati saat itu, tahu masa depannya dan tahu melakukannya. Para pembantunya dalam Pasoepati harus mau mengikuti saja segala langkahnya. Pilihan atas gaya kepemimpinan semacam ini, dalam komunitas yang bersifat cair dan egaliter, mudah memicu iri hati.

Mayor pun juga tak peka untuk beradaptasi. Sebagai wiraswastawan yang dalam istilah Robert T.Kiyosaki berasal dari kuadran “S” (self-employed), pekerja mandiri, dengan kultur kerja one man show, para bawahan adalah juga saingannya, wajar bila ia kemudian dinilai memonopoli kue-kue Pasoepati. Seperti liputan media dan hal-hal yang diduga menguntungkan lainnya.

Perjalanan sejarah mencatat lengser-nya kedua tokoh tersebut. Steve Jobs harus ditendang dari kursi CEO ketika Apple kalah bersaing melawan Bill Gates dan imperium Microsoft-nya. Mayor pun harus menyatakan mundur dari kursi presiden Pasoepati. Ia dan kreasi-kreasinya mungkin dinilai tidak lagi mewadahi aspirasi sebagian pentolan suporter yang justru dulu di saat awal Pasoepati berdiri menjadi pemujanya.

Ternyata di Pasoepati tidak ada suksesi. Para penentang Mayor tidak ada yang berani tampil sebagai pemimpin. Bahkan harus mencari jago di luar Pasoepati, yang mencerminkan situasi darurat. Dapat dimaklumi kemudian bahwa kedaruratan itu melahirkan figur dari antah berantah yang mau duduk di kursi presiden Pasoepati. Pilihan yang mencerminkan keputusasaan.

Apakah diri pengganti Mayor itu cocok berkubang dalam corporate culture semacam Pasoepati ? Atau dirinya tergiur oleh jumlah warga Pasoepati yang dinilainya berpotensi untuk bekal menggulirkan agendanya sendiri ? Warga Pasoepati kini dapat menilai sendiri.

Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari sekelumit perjalanan sejarah Pasoepati ini ? Mayor sebagai pemimpin harusnya mempelajari kata hikmah novelis Perancis, Stendhal (1783-1842), bahwa “penggembala harus selalu membujuk domba-domba gembalaannya bahwa kehendak mereka dan kehendak si penggembala adalah sama”. Problem kepemimpinan Mayor adalah problem komunikasi. Jadi ironis karena itu terjadi pada seseorang yang berkiprah dalam bisnis komunikasi.

Atau memang, sebagai hal wajar, dirinya kesulitan menampung beragam agenda yang dalam waktu singkat dimunculkan warganya yang sangat heterogen itu. Sekadar contoh, kasus tak kunjung usai dalam proses penentuan logo Pasoepati atau pemunculan figur Rojomolo sebagai maskot beberapa waktu lalu, yang mengundang pro-kontra, menggambarkan betapa hampir mustahil menentukan titik temu dari orang-orang yang sama-sama baru saling kenal sementara pengalaman, wawasannya berwacana dalam komunikasi juga amat meragukan. Belum lagi tidak sedikit orang yang ingin tidak sabar memperoleh sesuatu dari adonan sup batu Pasoepati, saat itu !

Pasoepati era pasca-Mayor telah mengalami realitas baru. Mata warga Pasoepati dapat melek, belajar, bahwa semakin banyak anggota dalam suatu organisasi akan terancam tidak menghasilkan sesuatu pun prestasi. Sebab mereka cenderung membangun kompromi, mencari aman, hanya menelorkan gagasan-gagasan klise, dan itulah tanda kemandekan dan kemandulan.

Tidak salah bila wartawan Solopos, Suwarmin, mencatat betapa Pasoepati nampak mapan dalam organisasi tetapi merosot dalam kreasi. Kondisi ini mengingatkan sebuah ejekan bahwa komite merupakan kumpulan salah pilih dari orang-orang yang tidak bersedia oleh orang-orang yang tidak becus untuk mengerjakan sesuatu yang tidak perlu. Sehingga Robert Copeland berpendapat bahwa agar berhasil mengerjakan sesuatu, komite tersebut harus beranggotakan tidak lebih dari tiga orang, di mana dua orang lainnya selalu mangkir.

Sejarah Apple Computers mencatat, Steve Jobs sukses melakukan rebound. Ketika Apple Computers mengalami pembusukan dan hampir bubar, si anak hilang tersebut sukses dalam memimpin Apple Computers bangkit kembali. Mengambil analogi tersebut, apakah Pasoepati juga masih butuh Mayor, sang “diktator” dan pendirinya itu untuk kembali, seperti santer disuarakan akhir-akhir ini ?

We’ve Only Just Begun, begitu judul lagu indah dari Carpenters. Kita baru saja mulai. Pasoepati baru saja berdiri. Masih banyak jalan di depan untuk dipilih dan ditapaki. Pada awal berdirinya, saya ikut bermimpi bahwa Pasoepati sebagai lembaga yang cair, sirkulasi kepemimpinannya seperti formasi burung bangau terbang, wahana untuk belajar berorganisasi dan berdemokrasi.

Hal ideal itu sepertinya akan terjadi ketika di awal berdirinya, tahun 2000, banyak warga nampak berkeinginan tulus memberi untuk Pasoepati. Tur-tur kita yang heboh dan berhasil, adalah kenangan betapa semua diri kita saat itu bersemangat besar untuk memberi kepada Pasoepati.

Tetapi di tahun 2002 saya melihat awal pudarnya semangat itu. Dari mulut seorang pentolan Pasoepati, ia cerita penuh rasa bangga bahwa jerih payahnya babad alas kini telah berbalas. Yang ia maksudkan, saat itu Pasoepati menjadi panpel dan ia telah mendapatkan uang karena menjadi suporter sekaligus menjadi pentolan Pasoepati.

Ketika uang ikut bermain, ketika kedudukan adalah fasilitas, saya tahu bahwa impian awal saya tentang Pasoepati sudah memudar. Karena uang, orang akan berusaha mempertahankan kedudukan. Tak ada lagi sirkulasi dalam organisasi, tak ada sirkulasi kreasi, yang ada adalah status quo, kemandekan.

Kemana kini Pasoepati akan melangkah ? Terserah kepada semua warganya. Sementara itu, bagi saya, adalah suatu kemunduran bagi Mayor dan Pasoepati bila ia nanti kembali memimpin Pasoepati. Demikian pula, ia pun akan terus merugi, bila hanya mampu bernostalgia atas keberhasilannya, sementara dirinya tidak mampu mengambil pelajaran apa pun dari kegagalan yang ia petik selama ini !

Bambang Haryanto, pengelola situs blog Epistoholik Indonesia. Mantan Menko Bina Citra Pasoepati, 2000-2001.

0 komentar:

1