Agak bosan mendengar kata kata itu. Sepakbola indonesia ”masih” identik dengan kerusuhan. Stigma negatif terhadap dunia si kulit bundar ini masih saja ada aroma kekerasan didalamnya. Padahal label ISL sudah melekat, ISL adalah kasta tertinggi persepakbolaan kita. Tapi kenapa tidak bisa menjadi contoh divisi di bawahnya.
Entah apa yang menyebabkan kerusuhan demi kerusuhan, seorang rekan mengatakan bahwa sebenarnya itu ketidakpuasan dari kubu tuan ruamh karena timnya kalah. Masuk akal juga sebenarnya, tapi apakah memang harus dengan seperti itu cara melampiaskannya?? Bukankah di liga liga internasional, mereka cukup jumawa menerima keputusan sang wasit. Walaupun itu merugikan. Suporter kita memang mungkin tidak se”ikhlas” para suporter luar negeri.
Kerusuhan demi kerusuhan, sanksi pun bertaburan, banding selalu jadi senjata utama. Samapai kapan??? Tak pernahkah kita belajar dari pengalaman pahit masa lalu. Kekuatan komdink yang selalu mementahkan komdis membuat semua berpikir gampang tentang sangsi dan pengurangannya. Suporter merasa dirinya adalah yang paling benar, kita terkena wabah Myophia. Selalu menyalahkan PSSI tapi kita lupa akan kesalahan kita sendiri.
Sampai kapan akan terjadi kerusuhan? Sampai kita sadar bahwa kita adalah ”suporter