Wednesday, September 24, 2008

Apakah Masih ada cinta di sepakbola kita

Dua hari saya terdiam selepas terlibat dalam kisruhnya laga Arema vs PKT di Malang, tidak saya ketemukan inti dari perasaan di hati, kerinduan pada sepakbola kita agar bisa lebih baik belum terjawabkan. Sabtu 13 September di Kanjuruhan, harus terekam lagi dalam memori kejadian yang tidak menyenangkan, balbalan kita ruwet, belum lagi mendapat obatnya, 15 September malam, cintaku pada sepakbola terusik lagi dengan kekisruhan di Makassar.

Marilah kita melihat semua kejadian dengan “hati” kita masing-masing, karena sudah terbukti berkali-kali palu vonis hukuman didok, tetapi keruwetan sepakbola tetap terjadi, bagi saya ini bukan masalah jera atau tidak, bukan juga tentang jutaan rupiah sebagai denda, tetapi intinya, sepakbola kita kehilangan “cinta”.


Cinta tak memberikan apa apa kecuali dirinya sendiri dan tidak mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri … Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki : karena Cinta telah cukup bagi Cinta. (Kahlil Gibran)

Masihkan ada “cinta” pada kekasih yang bernama “sepakbola”? Kalau “ada”, mengapa pelaku-pelakunya tidak jera mencederai kecintaannya? Apakah itu pemain, pelatih, pengurus, wasit, yang menghidupi keluarganya dari keringat di lapangan hijau.

Pemain bermainlah dengan mencintai olahraga ini agar muncul keindahan-keindahan dari kemampuan anda, agar tidak punya pikiran mencederai lawan yang sama mencintai sepakbola.

Pelatih, memberi ilmunya dengan cinta, melatih kemampuan pemain dengan penuh cinta, sehingga membuat tim bisa memberikan segala-galanya saat 2×45 menit.

Pengurus, buatlah pemain nyaman dan merasa dicintai, bukan hanya saat menang tetapi juga saat kalah, buatlah pemain mencintai timnya, kostumnya, sepakbolanya.

Wasit, bertindak dan bersikaplah sebagai pengadil yang memiliki rasa menyayangi pada pertandingan yang anda pimpin, cintailah pertandingan yang anda kendalikan, jangan sampai ternodai, jagalah pertandingan itu dengan penuh cinta, agar tidak terluka oleh kebijakan-kebijakan yang menyakitkan.

Dan media yang juga berkepentingan, jadilah bagian luar sepakbola yang ikut menjaga dan merekatkan nilai sepakbolanya, karena peranannya menjadi begitu perlu dalam meletakkan bahasa-bahasa media sehingga melengkapi rasa cinta pada sepakbola, dari mata maupun telinga.

Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti hentinya aku mencintai …Dan apa yang kucintai kini …. Akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai … dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya (Kahlil Gibran)

Bila sikap penuh cinta ditebar dari dalam lapangan, oleh pelaku-pelaku sepakbola, saya yakin akan merebak keluar dan aromanya tercium oleh kita, penonton sepakbola. Mencintai klub adalah perlu tetapi lebih perlu lagi mencintai sepakbolanya sendiri, dan bila kita semua yang berkata mencintai sepakbola, mau benar-benar menyayangi sepakbola tanpa aroma dendam, bahasa amarah, kebencian, maupun curiga maka sepakbola akan menemukan tempat di hati kita di kehidupan manusia.

Sudah saatnya bagi PSSI/BLI, pengelola klub, pemain, pelatih, wasit, kawan-kawan suporter, kawan-kawan media untuk duduk di depan kaca dan bertanya jujur, sudahkah aku melindungi, menyayangi dan menjaga kecintaaan kita yang bernama sepakbola?

Mungkin nurani kita akan menjawab ‘belum’ dan kecintaan kita yang bernama sepakbola akan berkata lirih, kalian selalu menyakiti, memperkosa, mencederai aku.

Orang bodoh yang sombong menyalahkan cermin dan bukan langitnya, dan menyalahkan bayangannya dan bukan bulan yang bercahaya dari ketinggian langit (Kahlil Gibran)

(ditulis oleh: Ovan Tobing)
sumber ongisnade.net dan senaputra.com

1