Wednesday, June 13, 2007
HASAN DAN HUSEIN
Kasan Kusen
SESUDAH dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya
dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri
Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300
kilometer. Wallahua'lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang
lain bilang ke Syria --sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di
PulauJawa-- tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.
Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan
airmata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka
agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa.
Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan
mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam
Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang
dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.
Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syii
di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang
membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan
kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. Sementara di pusat Islam sendiri,
Arab Saudi --kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan
ulama Wahabi-- konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai
sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid'ah, yakni
perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri,
sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.
Semacam ''dendam sejarah'' yang berasal dari tragedi Karbala itulah
yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syii.
Kepemimpinan dan keumatan dalam Syiah merupakan kohesi
horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum
Sunni. Seandainya di Indonesia orang mengatakan ''Gus Dur dengan 30 juta umat
NU-nya'' atau ''Amien Rais dengan 25 juta umat Muhammadiyahnya'' --yang
dimaksud adalah kaum Syii, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa
mengalahkan koalisi NU-Muhammadiyah dalam perpolitikan Indonesia.
Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali.
Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syii jengkel
kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi
Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas,
dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman
sibuk di Tsaqifah, ''KPU'' yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi
--tanpa memedulikan jenazah Nabi.
Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan
dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani
pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Sayidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia
disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan
Muawiyah.Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya
dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui
ajal.
Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita
seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus,
orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan.
Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia
tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk
diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad --meskipun secara
biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus-- namun semasa hidupnya ia
menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik
ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.
Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun
Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya,
mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada
kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah
putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di
kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.
Muhammad dan keluarganya sangat disayang, bahkan dicintai dengan
gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter abdan nabiyya, nabi
yang rakyat jelata, dan menolak ditawari Allah menjadi mulkan nabiyya, nabi
yang raja diraja.
Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung
emas--yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah antara
Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi, di
samping tambang minyak temuan baru di perbatasan Saudi-Yaman yang hari ini bisa
menjadi sumber konflik antara kedua negara. Sebab, jika Yaman menguasai
sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak
Saudi di perut bumi akan terserap olehnya.
Rasulullah pernah bersabda bahwa kelak kaumnya akan mengalami kekalahan
dan hidup dalam kehinaan, karena ''hubbud dunya wa karohiyatul maut''
--kemaruk pada harta dunia dan takut mati.
Wallahua'lam. Dalam hal maut, mestinya kaum Syii lebih memiliki etos
dan kesadaran spesifik, karena riwayat Ali, Hasan, dan Husein yang mereka
tokohkan. Maut dan derita Husein adalah sumber tenaga sejarah. Kematian
Husein bukan balak atau tragedi, melainkan kebanggaan yang melahirkan
kesadaran baru mengenai ideologi ''jihad'' dan ''syahid''.
Jihad adalah persembahan total diri seseorang kepada kepentingan Allah
melalui perjuangan kebenaran yang diyakini. Jihad membuat dunia menjadi
kecil, remeh, dan tidak penting. Jika seseorang sudah terpojok, bedil
musuh di depan dan kiri-kanannya, sementara kebuntuan di belakangnya, maka
jiwa jihad menjadi menggelegak. Keterpojokan membuatnya bersyukur karena
dunia, hedonisme, kemewahan, dan segala hiasannya sudah tidak punya makna
lagi. Tinggal satu: Allah.
Jika Ia sendirilah yang merupakan tuan rumah dalam kehidupannya, maka
kematian adalah sesuatu yang dirindukan. Maka, ia terus bersemangat
untuk berperang. Bukan karena perang itu sakit atau nikmat, melainkan karena
Allah memberinya jalan syahid tanpa hambatan dunia. Maka peluru musuh tidak
dihindarinya, melainkan disongsongnya.
Karena itu, bisa dipahami tatkala pasukan koalisi kecele bahwa
ternyata kelompok Syiah tidak begitu saja bisa diprovokasi untuk serta-merta
mensyukuri kedatangan pasukan koalisi, hanya karena sepanjang hidup di
Irak mereka ditekan oleh Saddam Hussein.
Akan tetapi, pada level kualitas perjuangan yang lebih tinggi, juga
sangat disayangkan bahwa kaum Syiah tidak mampu secara kolektif meneruskan
konsistensi etos jihad dan syahidnya sampai ke tingkat substansi yang
lebih berkemuliaan. Ketika mereka melakukan pawai ke Karbala untuk
mengekspresikan rasa cinta Husein, yang terjadi baru semacam pelampiasan bahwa kini
Saddam penghalang mereka sudah tidak memiliki kekuatan.
Pawai itu tidak membawa mereka kepada nilai kepemimpinan dan perjuangan
yang lebih tinggi yang menyangkut: (1) Nasionalisme Irak tanah persemayaman
mereka, (2) Martabat bangsa-bangsa Timur Tengah, juga (3) Harga diri
kaum muslimin di hadapan fundamentalisme Bush.
Pawai Karbala hanya menyampaikan kaum Syiah pada keperluan lokal kaum
Syiah sendiri. Peta yang tergambar hanya kekuasaan Saddam dan eksistensi kaum
Syiah di Irak. Padahal, sesungguhnya mereka kini berada dalam posisi
yang relatif sama dengan Saddam dan negara-negara Arab lainnya, dalam
konteks adikuasa Amerika Serikat.
Bush barusan menyatakan bahwa minyak Irak bukanlah milik Saddam dan
keluarganya. Sesungguhnya Bush utamanya sedang berkata kepada monarki
Arab Saudi: minyak di Saudi bukanlah milik Raja Saudi beserta para amir dan
keluarga serta keluarga kerajaan. Bersiaplah pada suatu hari wacana itu
akan diaplikasikan. Kerajaan Arab kini berada dalam ketakutan yang mendalam:
Raja Fahd sudah hampir terkikis kesehatannya, Fahd yang menggenggam de facto
kekuasaan sudah berumur 84 tahun, beberapa pangerannya sakit kaki.
Sejak 1980, Arab mengizinkan tanahnya menjadi salah satu pijakan
kekuatan militer Amerika Serikat. Kerajaan mendapat jaminan bahwa keluarganya
tak akan diutik-utik. Silakan ambil Irak, Suriah, atau mana pun, asal
keluarga Saudi tidak diganggu. Kalau perlu, apa boleh buat, Mekkah dan Madinah
dikuasai, asalkan kerajaan tetap selamat. Tapi, siapakah yang menjamin
keselamatan eksistensi keraton Saudi tanpa ia sendiri membangun
kekuatan di dalam dirinya? Apakah Amerika Serikat menjamin keamanan mereka,
meskipun rudal-rudal Patriot milik Kerajaan Saudi di-''infak''-kan kepada
pasukan koalisi untuk dipakai menghancurkan Irak, saudaranya sendiri, pada
peperangan Maret-April kemarin?
Kekuasaan Saudi tak usah dibayangkan akan sanggup melindungi Mekkah
dan Madinah. Tidak mustahil, dua sampai lima tahun lagi, keluarga Kerajaan
Saudi tak akan sanggup mempertahankan eksistensinya dari gejolak dan
pemberontakan rakyat Saudi yang sudah benar-benar sangat bosan hidup dalam situasi
kenegaraan yang tanpa rasionalitas, tanpa demokrasi, tanpa kebudayaan,
tanpa tradisi ilmu, tanpa etos-etos modern, dan sepertiganya kini menjadi
penganggur, tidak terbiasa bekerja keras, jualan sayur saja gagal.
Kemarin saya mendatangi tumpukan batu tinggi kokoh bekas benteng
pertahanan keluarga Yahudi Kaab bin Asraf di kota Madinah. Rasulullah sebelumnya
telah mengumpulkan semua segmen masyarakat Madinah untuk bersama-sama
menandatangani Piagam Madinah --etika masyarakat plural. Namun, Kaab
melanggar perjanjian itu. Terjadi peperangan, Kaab kalah. Dan di
milenium III abad ke-21 ini, Kaab akan hadir kembali mengambil Madinah.
Jadi, masalahnya bagi kaum Syiah bukan sekadar bagaimana mereka
mendapatkan kemerdekaan hidup di Irak, karena sesungguhnya sekadar di Irak pun,
pasca-Saddam, kemerdekaan kaum Syiah itu juga semu. Peta Timur Tengah
dan dunia sudah berubah total. Konflik Sunni-Syiah seharusnya sudah menjadi
sekunder. Kalau orang Syiah memukul-mukul dada mereka, merintih-rintih,
menangis, dan memekik-mekik --konsentrasi keperihan itu kini tidak lagi
an sich derita Sayyid Husein belasan abad yang lalu.
Kasan Kusen --demikian masyarakat santri tradisional Jawa menyebut nama
kedua cucu Nabi itu-- abad ke-21 tak kalah menderitanya. Mereka tak
hanya dicacah-cacah tubuhnya dan dipenggal kepalanya. Mereka bahkan dirudal,
dibom, dimusnahkan, disirnakan, diinjak-injak harga diri kemanusiaan
dan martabat kebangsaannya, bahkan dirampok hartanya secara
terang-terangan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment